Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi

You are herePahlawan / Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono

Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono


Dirangkum oleh: Sri Setyawati

Salah satu pendiri Partai Katolik Indonesia ini dikenal berpegang teguh pada kebenaran, menolak oportunisme, dan menjunjung tinggi etika berpolitik yang bermartabat. Dia pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri dan turut berjasa memperjuangkan kemerdekaan dan pluralisme di Indonesia. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011.

Siapakah dia? Dia adalah Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono. Kasimo terlahir di Yogyakarta, pada 10 April 1900. Dia adalah seorang negarawan yang banyak berjasa bagi bangsa Indonesia. Dia berasal dari keluarga feodal keraton. Ayahnya bernama Ronosentiko, seorang prajurit keraton, Mantrijeron. Ibunya bernama Dalikem.

Sebagai prajurit keraton, Ronosentiko memiliki kedudukan terhormat. Oleh karena itu, Kasimo berkesempatan bersekolah kendati hanya di Tweede Inlandsche School (Sekolah Ongko Loro) di Kampung Gading; tidak jauh dari rumahnya. Sekolah Bumi Putra ini biasa dikenal sebagai Sekolah Setalenen.

Ketika kakaknya dipersiapkan untuk menggantikan posisi sang ayah, sebagai anak laki-laki tertua nomor dua, secara otomatis Kasimo harus bertanggung jawab pada keluarganya. Ia harus bekerja keras membantu ibunya mengurus rumah tangga dan membesarkan sembilan adiknya. Setelah lulus dari Bumi Putra Gading, Kasimo masuk sekolah keguruan di Muntilan yang didirikan oleh Romo van Lith. Di sekolah inilah Kasimo mengenal nilai-nilai caritas. Caritas atau cinta kasih tidak dipahami sebagai sikap manis, tetapi kasih yang terwujud dalam sikap berani berpihak pada mereka yang tertindas dan membela keadilan. Kasimo yang ketika itu tinggal di asrama, pada akhirnya mulai tertarik untuk mendalami agama Katolik. Tepat pada hari raya Paskah, April 1913, Kasimo yang saat itu masih berusia 13 tahun dibaptis secara Katolik dan mendapat nama baptis Ignatius Joseph. Setelah menamatkan pendidikannya di Muntilan, pada tahun 1918 Kasimo hijrah ke Bogor guna meneruskan pendidikannya di Sekolah Pertanian Menengah (Middelbare Landbouw School disingkat MLS). Setelah mengenyam pendidikan selama 3 tahun, pada pertengahan 1921 Kasimo ditarik menjadi pegawai perkebunan pemerintah (Aspirant Landbouw Consultant). Namun, tidak lama setelah itu, Kasimo bermasalah dengan pemimpin perkebunan, Kasimo dipindahkan menjadi guru sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten.

Suatu hari, Kasimo membaca Katholieke Maatschappijleer (ajaran sosial katolik) karangan Imam Karmelit, Dr Llovera yang diterjemahkan oleh Dr Drieschen. Dalam buku tersebut ada sebuah kutipan yang menyatakan: "Setiap bangsa memunyai hak untuk mencapai kemerdekaandan persatuan." Buku hadiah Romo L. Von Rijkevorsel inilah yang memberi inspirasi besar bagi Kasimo.

Ketika di Bogor, Kasimo bergabung dengan Tri Koro Darmo (yang kemudian berganti menjadi Jong Java). Selain itu, Kasimo pernah menjadi ketua perkumpulan siswa MLS, Ceres.

Pada masa pergerakan nasional, Kasimo juga aktif berpolitik. Pada tahun 1923, Kasimo menjadi salah satu pendiri partai politik, Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Pada tahun 1925 partai ini berganti nama menjadi Perkoempoelan Politik Katolik di Djawa (PPKD) dan pada tahun 1933 berubah lagi menjadi Persatoean Politik Katolik Indonesia (PPKI). Tahun 1931–1942, Kasimo menjadi anggota Volksraad.

Selain itu, Kasimo juga pernah menjadi anggota Komisi Sentral Petisi Soetarjo. Selain ikut menandatangani petisi Soetardjo (15 Juli 1936) yang menginginkan kemerdekaan Hindia-Belanda, Kasimo bersama beberapa tokoh PPKI (Persatuan Politik Katolik Indonesia) juga ikut bergerak memobilisasi massa, untuk mengadakan demonstrasi mendesak agar Petisi Soetarjo diterima oleh Ratu Belanda.

Setelah bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, Kasimo diangkat menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Menanggapi Maklumat Wakil Presiden Mohamad Hatta yang memberi peluang berdirinya partai-partai politik, Kasimo mulai memprakarsai kerja sama seluruh partai Katolik Indonesia untuk bersatu menjadi Partai Katolik. Upaya itu dimaksudkan Kasimo untuk mengubah citra golongan Katolik sebagai unsur yang melekat dengan kolonialisme menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia. Kasimo mengaktifkan lagi PPKI yang dilarang ada masa penjajahan Jepang. Tidak lama kemudian, PPKI pun bergabung menjadi anggota federasi partai-partai Indonesia atau GAPI (1939), yang terkenal dengan semboyan, "Indonesia Berparlemen". Tujuan GAPI adalah mempersatukan semua partai politik yang ada di Indonesia. Dasar aksinya adalah hak untuk mengatur diri sendiri, persatuan kebangsaan yang meliputi seluruh rakyat Indonesia, yang bersendikan demokrasi dalam hal politik menuju tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Keikutsertaan PPKI dalam GAPI ditempatkan dalam kerangka pemahaman bahwa umat Katolik tidak berjuang hanya untuk kepentingan agamanya, tetapi mereka mau berjuang demi bangsa, ikut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan.

Selanjutnya, setelah kongres di Surakarta, PPKI berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia. PKRI berpendapat bahwa Negara Indonesia hanya bisa maju dan tegak berdiri bila seluruh rakyat bersatu. Dengan alasan ini, PKRI tidak ikut terlibat dalam Persatuan Perjuangan yang didirikan Tan Malaka di Purwokerto pada 6 Januari 1946, ataupun Konsentrasi Nasional dan Gerakan Benteng Republik Indonesia. Demi menggalang kesatuan bangsa, PKRI terlibat dalam pembentukan Persatuan Pertahanan Rakyat dan Program Nasional disertai komitmen perjuangan yang memerhatikan pada usaha untuk memajukan penghidupan rakyat. Kasimo memandang bahwa perekonomian nasional seharusnya menguntungkan rakyat banyak, pertanian dan perkebunanlah yang menjadi perhatiannya. Di bidang pendidikan PKRI bekerja sama dengan AMKRI (Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia) dengan mendirikan sekolah di Yogyakarta dan Solo.

Kasimo juga ikut terlibat dalam aneka perjuangan diplomasi dalam rangka mendapat pengakuan secara de jure kemerdekaan RI. Dia berpartisipasi di berbagai perundingan dengan pemerintah Belanda. Ketika diadakan Konferensi di Linggarjati, November 1946, Kasimo pun ikut sebagai anggota delegasi RI.

Awal kemerdekaan pada tahun 1947-1949, Kasimo duduk sebagai Menteri Muda Kemakmuran dalam Kabinet Amir Sjarifuddin, Menteri Persediaan Makanan Rakyat dalam Kabinet Hatta I dan Kabinet Hatta II. Dalam kabinet peralihan atau Kabinet Soesanto Tirtoprodjo, ia juga menjabat sebagai menteri.

Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Kasimo duduk sebagai wakil Republik Indonesia. Setelah RIS dilebur, dia menjadi anggota DPR. Kala duduk sebagai anggota dewan, Kasimo turut memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara. Perjuangan lain yang ditunjukkan Kasimo adalah saat ia ikut merebut Irian Barat. Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap ia menjabat sebagai Menteri Perekonomian.

Selama menduduki kursi pemerintahan di bidang perekonomian, Kasimo menyatakan gagasannya untuk menyusun rencana produksi 5 tahun (Plan Kasimo), berisikan anjuran untuk memperbanyak kebun bibit unggul, pencegahan hewan pertanian untuk disembelih, penanaman kembali lahan kosong, dan perpindahan penduduk ke Sumatera.

Pada masa Orde Baru, Kasimo diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.

Sepak terjang Kasimo tidak berhenti sampai di sini, dalam banyak kesempatan Kasimo semakin aktif di bidang kenegaraan. Sikap tegas Kasimo dan Partai Katolik di satu sisi dikagumi banyak politisi, karena walaupun kelompok minoritas dan partai kecil, berani bersikap jelas dan mengambil risiko demi prinsip yang diyakini. Kasimo juga berani menolak konsepsi Presiden Soekarno tanggal 21 Februari 1957 tentang Demokrasi Terpimpin dan arahan politik Nasakom, Demokrasi Parlementer diubah menjadi Demokrasi Gotong-Royong serta dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya diangkat presiden dan berfungsi sebagai penasihat kabinet. Presiden juga mengungkapkan rencana pembentukan kabinet empat kaki yang berintikan empat partai politik besar: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai Katolik dan Masyumi menolak secara tegas konsepsi tersebut di hadapan presiden. Alasannya bahwa keikutsertaan Komunis dalam pemerintahan akan membawa negara perlahan-lahan berubah menjadi komunis. Kongres Partai Katolik saat itu pun menolak sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno. Partai Katolik tidak menyetujui tindakan-tindakan yang tidak demokratis dan melanggar UUD 1945, tindakan Presiden Soekarno dipandang mengandung bahaya karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan dikhawatirkan gerakan komunis akan meluas.

Kritik terhadap Kasimo datang dari anggota Partai Katolik lainnya karena penolakan konsepsi presiden berarti Partai Katolik tidak dapat menempatkan wakilnya di pemerintahan. Dalam kongres partai di Solo tahun 1958, ia mendapat banyak serangan dan pertanyaan mengenai kebijakannya. Tanggapan Kasimo sangat jelas, ia menantang segenap peserta kongres untuk memilih antara "politiek begiensel" (politik berdasarkan prinsip) atau "politiek opportuniteit" (politik oportunitas), dan yang disepakati kongres adalah sikap politik atas dasar prinsip. Muncul pula keluhan lainnya akibat sikap Kasimo yang tidak memanfaatkan kedudukan menteri atau jabatan lainnya untuk memberi kemudahan fasilitas atau kesempatan bagi para anggota partai, sesuatu yang lazim terjadi dalam partai-partai lain. Ia menjawab bahwa kedudukan Partai Katolik yang dihormati banyak pihak, dicapai berkat ketabahan perjuangan bersama golongan lain dalam kesederhanaan dan ketekunan.

Kasimo juga pernah dipilih sebagai juru bicara Liga Demokrasi pada 24 Maret 1960, yang dibentuk oleh beberapa politisi yang memperjuangkan agar demokrasi tetap dipertahankan. Liga Demokrasi terbentuk sebagai respons atas pembubaran parlemen hasil pemilu dan pembentukan DPR Gotong Royong oleh Presiden Soekarno tahun 1960. Partai Katolik sendiri memberikan memorandum kepada pemerintah untuk menghindari pembentukan parlemen dengan cara yang tidak demokratis. Bahkan, diusulkan untuk segera melaksanakan pemilu serta kritik banyaknya jumlah anggota yang disediakan bagi PKI dalam parlemen.

Pada tahun 1980, sebagai bentuk apresiasi atas perjuangannya, Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Kasimo penghargaan Bintang Ordo Gregorius Agung serta diangkat menjadi Kesatria Komandator Golongan Sipil dari Ordo Gregorius Agung. Tokoh politik religius ini wafat pada 1 Agustus 1986 di RS Saint Corolus, Jakarta, jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Selain keluarga, penganugerahan gelar tersebut juga disambut sukacita oleh pihak PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) sebagai salah satu tim yang getol mendukung I.J. Kasimo agar mendapat gelar Pahlawan Nasional. Menurut Ketua Forum Alumni PMKRI, Hermawi Fransiskus Taslim, anugerah pahlawan memang layak disematkan kepada I.J. Kasimo atas dedikasinya dalam memperjuangkan kepentingan bangsa. Selain memunyai andil dalam merebut kemerdekaan, Kasimo juga dipandang sebagai sosok yang memiliki sikap yang patut diteladani lantaran dalam karier berpolitiknya ia selalu menjunjung tinggi etika dan martabat.

Fransiskus juga menjelaskan, meski Kasimo tokoh minoritas, namun dalam berpolitik di benaknya tidak ada minoritas dalam konsep kewarganegaraan. Kasimo memandang istilah minoritas dan mayoritas itu adalah konsep statistik bukan kewarganegaraan. Sebagai bentuk syukur atas gelar pahlawan nasional yang disematkan pada Kasimo, PMKRI pada akhir November 2011 mengadakan misa syukur di Katedral, Jakarta Pusat. Acara tersebut dihadiri para uskup dan perwakilan negara-negara sahabat, serta ribuan umat Katolik.

Keterlibatan politik Kasimo yang cukup panjang sejak masa prakemerdekaan hingga pascakemerdekaan menunjukan komitmen kuat dari kalangan Katolik dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Keterlibatan ini dilandasi oleh suatu pendirian dan prinsip yang kuat akan keberpihakan terhadap mereka yang tertindas dalam hal ini bangsa Indonesia yang mengalami ketertindasan karena dijajah. Pilihan sikap ini sejalan dengan ajaran gereja yang menekankan keberpihakan kepada yang lemah. Sikap tegas, jelas, sederhana, prinsipiil yang ditunjukan Kasimo sepanjang hayatnya tidak lepas dari pendidikan nilai yang diterimanya selama masa pendidikanya di sekolah guru di Muntilan di bawah asuhan Van Lith.

Perjuangan politiknya yang memiliki pijakan prinsip yang jelas yaitu pengabdian kepada kesejahteraan rakyat bukan memperkaya diri, memanfaatkan posisi, atau kedudukan untuk memperkaya diri atau partai. Salus Populi Suprema Lex -- kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi merupakan semboyan yang mendasari gerak langkah kasimo. Kualitas-kualitas diri semacam ini justru semakin langka ditemukan dalam diri pemimpin-pemimpin masa kini.

Mempelajari kehidupan Kasimo berarti mempelajari sumbangan atau keterlibatan golongan Katolik dalam sejarah pergerakan kemerdekaan. Selain itu, dari tokoh ini kita menimba banyak kearifan dan inspirasi terkait politik.

Dirangkum dari:
1. Tanaya Yuka. "Kasimo dan Gagasan Ekonomi pada Awal Indonesia Lahir". Dalam http://sejarawan.wordpress.com.

2. Eliasdabur. "Kasimo: Pengabdian dan Perjuangannya". Dalam http://innervoice1.wordpress.com.

3. Komunitas Kajian dan Lakuna Guru Bangsa. "Perjuangan dan Pengabdian Kasimo". Dalam http://rumahgurubangsa.blogspot.com.

4. Muli. "IJ Kasimo Hendrowahyono". Dalam http://www.tokohindonesia.com.

Komentar


SABDA Live



Alkitab SABDA


Cari kata atau ayat:

Kamus SABDA


Media Sosial

 

Member login

Permohonan kata sandi baru