Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi
You are herepenulis / Grace Livingston Hill
Grace Livingston Hill
Grace Livingston Hill dikenal sebagai "Ratu Novel Kristen". Sewaktu muda, saya membaca semua novel karyanya yang bisa saya peroleh. Banyak orang dari kota kecil dan kota besar di seluruh negeri mengaguminya.
Anak tunggal seorang pastor Presbiterian dan istrinya ini lahir sehari setelah peristiwa penembakan Lincoln. Grace diperkenalkan kepada tulisan oleh orang tuanya yang membacakannya buku cerita. Ia hidup melalui dua Perang Dunia dan melihat banyak perubahan terjadi di Amerika.
Artikel Terkait
Tulisannya mencerminkan apa yang sedang terjadi dan tak pernah ketinggalan zaman. Seorang peresensi harian "New York Times" menulis bahwa bukunya "lebih dari sekadar kenangan indah bagi ribuan orang; buku-buku itu juga menjadi objek pelajaran mengenai kehidupan dan pemikiran yang bersih". Dia sama sekali tidak pernah menyimpang dari hal itu. Editornya mengingatkan pembaca buku-bukunya bahwa "buku-buku karyanya selalu mengandung kearifan yang lemah-lembut dan kehidupan yang damai".
Ketika suaminya meninggal secara tiba-tiba, Grace memutuskan untuk berkarier sebagai penulis. Novel pertamanya, "A Chautuqua Idyl" (1887), menjadi awal dari karier panjangnya. Ia mampu menghasilkan rata-rata dua novel dalam setahun. Ketika ia menjadi seorang janda dan merasakan semua beban tanggung jawabnya sebagai orang tua tunggal, Grace secara alamiah berpaling kepada Alkitab untuk mencari pertolongan. Ia menemukan pertolongan itu di Ulangan 33:25 dan mengambil ayat itu sebagai motto hidupnya: "Selama umurmu kiranya kekuatanmu." Menyebut ayat itu setiap hari, membantunya untuk percaya bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan yang ia perlukan.
Grace menyaksikan abad sembilan belas akan berakhir, dan orang-orang penasaran tentang apa yang akan terjadi di Amerika 100 tahun ke depan. Ia sendiri terlalu sibuk memerhatikan perayaan pergantian abad, dari abad ke-18 menuju abad ke-19. Ia sedang terburu-buru menyelesaikan sebuah buku dan memenuhi tenggat waktu penerbitnya.
Pada awal abad baru itu, keuntungan dari tulisannya memampukannya membangun rumah impiannya -- jenis rumah yang sama seperti yang ia tulis dalam novel-novelnya. Dibangun dari batu, seperti yang selalu ia inginkan, rumah itu bermula dengan tiga tingkat. Rumah tersebut berubah tahun demi tahun sesuai dengan penambahan dan perubahan model yang Grace lakukan, sampai-sampai rumah itu menjadi jauh lebih besar -- memiliki empat belas buah kamar. Tetapi ia memang memerlukannya. Ibunya tinggal dengannya, begitu juga bibinya, dan setelah putri-putrinya menikah, mereka dan suami mereka dan kemudian para cucu juga tinggal bersamanya.
Meskipun menulis adalah alatnya untuk menafkahi dirinya dan dua orang putrinya, Grace merasa bahwa menulis itu adalah panggilan dari Tuhan. Karena itu, ia menulis untuk menyampaikan dasar-dasar teguh mengenai kehidupan dan komitmen Kristen. Yang ia tulis memang sederhana, tetapi dengan keyakinan yang dalam. Sebuah novel yang berjudul "The Witness" (1939) menarik perhatian Sunday School Herald dan disoroti oleh Sunday School Herald selama beberapa waktu. Buku itu menjadi alat yang membuat banyak orang menjadi percaya kepada Kristus dan memperbarui komitmen kehidupan Kristen. Ia juga menulis kolom religius, "The Christian Endeavor Hour", dan bekerja sama dengan Evangeline Booth untuk menulis "The War Romance of Salvation Army" (1918).
Grace tidak menulis buku-buku yang "best-seller" pada masanya, namun hal itu tidak mengusiknya. Penerbit sukses dan diakui, J.B. Lippincott Publishers di Philadelphia, berjanji akan menerbitkan salah satu bukunya, tetapi dengan syarat bahwa ia harus merevisinya. Ia terkejut. Tak lama kemudian, Tuan Lippincott menemuinya. Lippincott berbicara dengan lembut namun serius tentang apa yang buku -- juga penulis -- perlukan agar bisa sukses. Grace mendengar hal itu dengan perasaan takut. Maksud Lippincott sangat jelas, dan hal itu bertentangan dengan apa yang Grace ingin dengar. Menurut penerbit, tidaklah menjadi masalah untuk menulis sebuah novel dengan karakter yang bermoral tinggi dan baik menang atas yang jahat pada akhir cerita, namun novelnya tidak boleh memiliki "hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan sekolah minggu". "Hal itu tidak akan membuat novel laku," kata penerbit itu tegas. "Buang Injilnya."
Grace terlihat kecewa. Ia sudah menyetujui memberi Lippincott dua buku lainnya, dan ia harus menghargai kontrak itu. Namun, ia ingin membantu pembaca menemukan Juru Selamat dan menguatkan iman mereka. Ia berkonsentrasi menulis beberapa novel sejarah, namun tak pernah mengabaikan pesan kristiani yang harus disampaikannya. Ia bekerja keras menulisnya, menggabungkan roman dan petualangan, dan kadang misteri. Lippincott terus menerbitkan buku-buku Grace, dan namanya dimasukkan dalam daftar buku wajib baca.
Grace juga diminta memberi kuliah, dan dengan bakat naturalnya dalam hal drama, ia memberi kuliah dengan gaya bicara yang informal. Grace juga dengan giat ambil bagian dalam mendukung apa yang disebut Old Leiper Church dan pelayanannya di antara para imigran Italia. Selama era Depresi Besar (Great Depression), banyak orang memerlukan bantuan, dan Grace datang kepada mereka dengan bantuan finansial.
Di sela-sela kesibukannya, Grace mulai menghadiri serangkaian kelompok pemahaman Alkitab, dan ia mulai melihat Alkitab dalam sebuah cahaya baru. Hal ini membawa Grace kepada hubungan baru yang lebih mendalam dengan Tuhan dan sebuah keinginan untuk melayani Dia lebih lagi. "Tuhanlah yang memberiku talenta-talentaku," katanya. "Aku akan melakukan semua yang aku mampu untuk menunjukkan betapa aku bersyukur pada-Nya. Aku akan lebih banyak memakai waktu dan usahaku untuk menyebarkan Injil Kristus," katanya kepada putrinya. Dan hal itu benar-benar ia lakukan. Buku-bukunya menjadi lebih populer daripada sebelumnya. Meskipun dunia semakin sibuk dan gila, ia semakin banyak menerima surat dari orang-orang yang berterima kasih kepadanya karena telah menulis buku-buku itu. Walaupun beberapa bukunya berkenaan dengan masalah-masalah yang sedang terjadi -- seperti korupsi dan pemerasan, dan kesenangan palsu kehidupan orang-orang kaya -- tulisannya masih menarik bagi para pembaca yang mencari tempat singgah nyaman dalam kesusastraan.
Ia berusia 75 tahun saat Jepang mengebom Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941. Ia pernah mengalami hidup di tengah kengerian perang; ia cinta damai dan ingin setiap orang merasakannya. Berita-berita di koran-koran dan radio yang menceritakan tentang kengerian dan kekejaman sadis yang terjadi di Eropa dan Timur Jauh, membuatnya kecewa. Selama perang, buku-bukunya memaparkan persoalan-persoalan yang perang timbulkan. Bukunya, "A Girl to Come Home To", adalah tentang seorang veteran yang melihat pertempuran berdarah untuk pertama kalinya dan kemudian kecewa, sama dengan yang Grace rasakan. Novel itu bercerita tentang bagaimana seorang veteran menemukan kembali imannya saat pulang ke rumah. Buku itu membuatnya mendapat banyak surat, kebanyakan dari veteran yang merasakan hal yang sama dengan kisah di buku itu. Mereka berterima kasih atas tulisan mengenai persoalan-persoalan itu sehingga orang-orang yang berada di rumah, yang tidak mengalami kekejian perang, dapat memahami apa yang veteran-veteran itu perjuangkan saat mereka pulang ke kampung halamannya, kepada teman-teman dan keluarganya.
Ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom di Jepang pada tanggal 6 Agustus, dan kemudian pada tanggal 9 Agustus 1945, Grace sangat tertekan. "Saya bukan lagi orang Amerika," katanya pada seorang temannya. Pada musim gugur 1946, dokter memvonisnya mengidap kanker. Operasi untuk mengangkat tumor lebih dari hanya sekadar membuat tubuhnya lemah. Pada bulan Januari 1947, buku terakhir Grace, "Where Two Ways Meet", diterbitkan. Meski ia sibuk, awal Februari ia memenuhi permintaan wawancara terakhir di rumahnya. Sang pewawancara mengajukan banyak pertanyaan mengenai kariernya sebagai penulis Kristen dan dalam artikel yang menyebutnya sebagai "salah satu novelis Amerika terfavorit dan paling produktif". Diperkirakan lebih dari 4 juta novel Grace telah dicetak di Amerika saja. Estimasi ini tidak termasuk cetakan ulang di kemudian hari dan yang diterbitkan di negara lain dan dalam bahasa lain, yang jika dihitung mungkin akan melipatgandakan jumlah buku tercetak di Amerika. Novel-novel itu masih dijual hingga hari ini dalam versi yang lebih kecil dan sampul tipis, serta tersedia di toko-toko buku.
Saat pewawancara menanyakan mengenai bagaimana ia mampu merangkul pembaca dari beberapa generasi, ia menjawab, "Karena saya tidak menulis hanya demi menulis. Saya berusaha menyampaikan ... sebuah pesan, yang telah Tuhan berikan, dan mengerahkan semua kemampuan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikannya. Apapun yang sudah dapat saya selesaikan, semuanya adalah karya Tuhan. Saya mencoba menuruti ajaran Tuhan dalam semua tulisan dan pemikiran saya."
Grace Livingston Hill tak memiliki cukup umur untuk membaca hasil wawancara yang diterbitkan itu. Pada tangagl 23 Februari 1947, ia meninggalkan dunia di mana ia tak lagi merasa ada di rumahnya menuju ke tempat di mana ia tahu bahwa Juru Selamatnya telah menunggunya. (t/Adwin)
Diterjemahkan dari:
Judul buku | : | 100 Christian Women Who Changed the 20th Century |
Judul asli artikel | : | Grace Livingston Hill (1865-1947) |
Penulis | : | Helen Kooiman Hosier |
Penerbit | : | Flemming H. Revell, Michigan 2000 |
Halaman | : | 33 -- 36 |
Sumber: Bio-Kristi 35
- Login to post comments
- 3636 reads