Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Bio-Kristi
You are hereBio-Kristi No. 156 Februari 2016 / J.R.R. Tolkien
J.R.R. Tolkien
Kehidupan awal J.R.R. Tolkien
J.R.R. Tolkien lahir pada tahun 1892 di Bloomfontein, Afrika Selatan. Setelah tiga tahun berada di Afrika Selatan, dia kembali ke Inggris bersama ibunya, Mabel. Sayangnya, ayahnya meninggal setahun kemudian, meninggalkannya dengan sedikit kenangan tentang ayahnya. Masa kecilnya adalah masa kecil yang bahagia jika dilihat dari berbagai aspek. Dia kemudian dibawa ke pedesaan di Warwickshire (banyak orang menganggap asuhan yang ideal ini sebagai dasar bagi Shire di "Lord of the Rings").
J.R.R. Tolkien
Kehidupan awal J.R.R. Tolkien
J.R.R. Tolkien lahir pada tahun 1892 di Bloomfontein, Afrika Selatan. Setelah tiga tahun berada di Afrika Selatan, dia kembali ke Inggris bersama ibunya, Mabel. Sayangnya, ayahnya meninggal setahun kemudian, meninggalkannya dengan sedikit kenangan tentang ayahnya. Masa kecilnya adalah masa kecil yang bahagia jika dilihat dari berbagai aspek. Dia kemudian dibawa ke pedesaan di Warwickshire (banyak orang menganggap asuhan yang ideal ini sebagai dasar bagi Shire di Lord of the Rings).
Pada tahun 1904, ketika John baru berusia 12 tahun, ibunya Mabel meninggal karena diabetes dan meninggalkan bekas yang mendalam pada dirinya dan adik laki-lakinya. Setelah kematian ibunya, dia dibawa oleh pendeta Katolik dari keluarga mereka, Bapa Francis Morgen. Sejak usia muda, J.R.R. Tolkien adalah seorang cendekiawan yang sangat baik, dengan ketertarikan yang khusus akan bahasa. Dia sangat menikmati mempelajari bahasa, khususnya bahasa Yunani, bahasa Anglo-Saxon, dan kemudian di Universitas Oxford, bahasa Finlandia.
Meskipun merupakan seorang sarjana di sekolah King Edward VI, pada awalnya dia gagal memenangkan beasiswa ke Oxford. Hal ini sebagian disebabkan karena dia jatuh cinta pada kekasih masa kecilnya, Edith. Ketika mengetahui tentang percintaan ini, walinya, Bapa Francis Morgen, melarang John untuk menemui Edith sampai dia berusia 21 tahun dan tidak lagi berada dalam asuhannya. Bapa Morgen membuat John berjanji untuk tidak menemui Edith, dan John dengan berat hati menyetujui permintaannya. John dengan setia menunggu hingga ulang tahunnya yang ke-21, dan pada hari itu memperbarui hubungannya dengan Edith, dan berhasil membujuknya untuk menikah dengannya. Hal ini adalah bukti keyakinannya pada kesetiaan dan kejujuran bahwa dia bersedia untuk menunggu beberapa tahun untuk menemui istrinya; sentimen kebangsawanan semacam itu sering muncul dalam tulisan-tulisannya; contohnya, kisah cinta yang luar biasa dari Beren dan Luthien (dua tokohnya dalam buku The Silmarillion, yakni kisah percintaan antara dua pribadi yang berasal dari latar belakang bangsa yang berbeda -- Red.).
J.R.R. Tolkien di Oxford
Dari sudut pandang akademis, perpisahannya dengan Edith tampaknya berhasil, setahun kemudian dia memenangkan beasiswa ke Exeter College, Oxford, tempat dia mempelajari studi Klasika. John tidak benar-benar bersinar dalam pelajaran ini dan mulai menikmati kesenangan kehidupan universitas meskipun pemasukannya yang sedikit membuatnya sulit mengikuti kebiasaan pengeluaran dari murid-murid yang kaya. Tidak terinspirasi dengan studi Klasika, John berhasil beralih ke cintanya yang sejati, Sastra Inggris. Dia adalah sarjana yang kompeten, tetapi kebanyakan waktunya dihabiskan untuk mempelajari bahasa-bahasa lain di perpustakaan Bodleian. Di Oxford inilah, di mana dia menjadi terpesona dengan bahasa Finlandia, sebuah bahasa yang menjadi landasan untuk bahasa Quenya; sebuah bahasa yang nantinya akan dia berikan kepada bangsa Elf ciptaannya. Rasa cintanya terhadap bahasa tidak memudar sepanjang hidupnya; khususnya, dia mulai mengembangkan bahasa-bahasanya sendiri, sebuah usaha yang luar biasa. Bahkan, dia berkomentar bahwa bahasa-bahasa terletak sebagai jantung hati tulisan-tulisannya; Silmarillion dan Lord of the Rings. Dia benar-benar mengatakan, cerita-cerita tersebut ada untuk menyediakan kesempatan baginya untuk menggunakan bahasa-bahasa tersebut. Para penggemar bukunya mungkin tidak akan setuju, tetapi bukunya mengilustrasikan kepentingan yang mendalam yang dia lekatkan pada penggunaan bahasa-bahasa tersebut.
Perang Dunia I
Saat pecahnya Perang Dunia I, J.R.R. Tolkien memutuskan untuk menyelesaikan gelar sarjananya sebelum mendaftarkan diri dalam dinas militer pada tahun 1916. Bergabung dengan pasukan penembak Lancashire, dia berhasil sampai ke Western Front, persis sebelum penyerangan besar Somme. Dengan mata kepalanya sendiri, J.R.R. Tolkien menyaksikan kengerian dan pembantaian dari "Perang Besar" tersebut; dia kehilangan banyak teman dekat, secara lisan dia berkata, "Sampai tahun 1918, seluruh teman dekat saya meninggal kecuali satu orang." J.R.R. Tolkien berhasil bertahan hidup, sebagian besar karena berulangnya demam parit yang terus-menerus, yang membuatnya dipulangkan kembali ke Inggris. Dia jarang berkata-kata tentang pengalamannya secara langsung, tetapi kengerian dalam skala besar dari perang tidak diragukan lagi memengaruhi tulisan-tulisannya dalam beberapa cara. Barangkali penggambaran tanah gersang Mordor mungkin saja terinspirasi dari kengerian yang berlumpur dari Western Front.
Ketika kembali ke Inggris inilah, pada tahun 1917, J.R.R. Tolkien mulai mengerjakan epiknya -- The Silmarillion. Dalam The Silmarillion terletak jantung seluruh mitologi Tolkien. Itu adalah karya yang terus direvisi sampai kematiannya pada tahun 1973. The Silmarillion membuat suatu bacaan yang berat, di dalamnya, karya tersebut tidak tergerak oleh plot, tetapi melukiskan sejarah alam semesta, melalui gambaran umum yang hampir alkitabiah. Ceritanya bergerak dari Penciptaan Alam Semesta, kepada pengenalan akan kejahatan dan pemberontakan di Noldor. Di buku Silmarillion inilah berasal banyak akar dari cerita The Lord of the Rings. Karya tersebut memberikan The Lord of the Rings kesan akan epik yang sejati. Karya tersebut bukan hanya sekadar cerita, tetapi juga sejarah dari dunia secara keseluruhan dan orang-orangnya.
Menulis The Hobbit
Pada awalnya, tulisan-tulisan J.R.R. Tolkien hanya diketahui oleh beberapa orang. Dia merasakan waktunya banyak terserap dalam mengajar dan tugas-tugas lain sebagai seorang profesor. Dia juga memiliki waktu untuk menulis makalah-makalah penting tentang sastra abad pertengahan. Karya-karya ini termasuk karya-karya yang menjadi cikal bakal Sir Gawain and the Green Knight dan Beowulf>. Pada tahun 1945, dia diberikan jabatan guru besar Merton, dan mendapatkan tugas-tugas tambahan untuk mengajar dan memberikan kuliah.
Beberapa saat setelah tahun 1930, Tolkien mendapatkan inspirasi yang tidak terduga untuk mulai menulis The Hobbit. Selagi memeriksa lembar-lembar ujian, dia menuliskan di tepi halaman kertas kalimat "Di sebuah lubang dalam tanah, tinggallah seorang hobbit" yang abadi ini. Tidak seperti The Silmarillion, The Hobbit adalah sebuah kisah dongeng dan petualangan yang sederhana untuk anak-anak. Mengisyaratkan tentang hal-hal yang jahat, cerita tersebut masih berakhir dengan bahagia untuk selama-lamanya dan terutama bersangkutan dengan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Dalam perjalanan beberapa tahun berikutnya, teman-temannya, termasuk C.S. Lewis, membaca naskahnya dan memberikan ulasan yang baik. Seiring perjalanan waktu, salah satu penerbit, Allen and Unwin, membaca karya tersebut; dengan referensi bersinar dari Rayner Unwin, anak dari Tuan Unwin yang berusia 10 tahun. Buku tersebut diterbitkan dan menjadi sukses secara komersial.
J.R.R. Tolkien dan C.S. Lewis
J.R.R. Tolkien berteman baik dengan C.S. Lewis dan bersama-sama mereka adalah anggota kunci dari 'Inklings', sebuah klub sastra Oxford yang tidak resmi, tempat para penulis bertemu bersama-sama untuk membacakan puisi dan cerita-cerita pendek secara lantang. Tolkien memiliki iman Katolik yang kuat di sepanjang hidupnya; dia sering kali mendiskusikan agama dengan C.S. Lewis. Lewis kemudian mengatakan bahwa perbincangannya dengan Tolkien adalah faktor kunci dalam keputusannya untuk memeluk kekristenan. Akan tetapi, hubungan mereka mendingin seiring berjalannya waktu. Terdapat gesekan kecil atas hubungan C.S. Lewis dengan Joy Davidson (istri C.S. Lewis -- Red.), tetapi mereka tetap berteman akrab, dan C.S. Lewis selalu merupakan pembela sastra yang kuat untuk karya-karya Tolkien. (Meskipun Tolkien agaknya kurang antusias terhadap karya-karya C.S. Lewis.)
Lord of the Rings
Karena kesuksesan The Hobbit, Allen dan Unwin, mendorong J.R.R. Tolkien untuk menulis sebuah sekuel. Maka, setelah bertahun-tahun lamanya, J.R.R. Tolkien mulai menulis The Lord of the Rings. Karya ini kemudian menjadi cukup berbeda dengan The Hobbit, baik dalam cakupan maupun dimensi. Merambatkan akar-akarnya ke The Silmarillion, karya tersebut menjadi sebuah epik yang tidak diperkirakan sebelumnya. Tidak hanya Tolkien menulis cerita petualangan yang sederhana; kejayaan dari kebaikan di atas kejahatan begitu lengkap. Bahkan dalam kesuksesan misi, tidak ada akhir bahagia yang jelas. Terdapat perasaan akan perubahan yang permanen; tidak ada sesuatu yang dapat tetap seperti keadaannya sekarang ini. Begitu juga dengan alur cerita yang memesona, buku tersebut berkenaan dengan banyak isu tentang bagaimana orang-orang merespons kepada pilihan-pilihan tertentu dan pengaruh kekuasaan dan ego. Hal itu dapat dibaca dengan banyak cara, tetapi hal itu menawarkan moral dan dimensi spiritual yang mendasari, yang melekat dalam perkembangan cerita.
Karena cakupan dan panjang buku yang terjal, penerbit Allen dan Unwin, merasa waspada untuk menerbitkannya. Mereka khawatir tentang apakah karya tersebut akan menjadi sukses komersial atau tidak. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menerbitkan buku tersebut, tetapi membaginya ke dalam enam bagian; mereka juga menawarkan tidak ada pembayaran sampai buku tersebut menghasilkan laba. Edisi pertama diterbitkan pada tahun 1954, dan segera menjadi laris. Akan tetapi, pada tahun 1965 itulah, ketika buku tersebut diterbitkan di Amerika, buku tersebut lepas landas menjadi buku terlaris secara internasional. Entah bagaimana buku tersebut berhasil menangkap mood dari kontra kultur tahun 1960-an, dan menjadi benar-benar populer di kampus-kampus Amerika. Tolkien, menjadi terkenal, dan The Lord of the Rings nantinya akan dinobatkan menjadi buku terpopuler sepanjang masa.
Meskipun buku tersebut kebanyakan menerima pujian popularitas yang kuat, buku itu tidak selalu menerima penghargaan yang sama dari dunia kepustakaan. Pada tahun 1972, Universitas Oxford menganugerahkan Tolkien gelar kehormatan Doctor of Letters. Penghargaan tersebut bukanlah untuk tulisannya, tetapi untuk penelitian-penelitiannya dalam studi linguistik. Akan tetapi, Tolkien tidak merasa tersinggung dengan penghargaan ini. Bagi dia, studi-studi linguistiknya adalah sama pentingnya dengan atau malah lebih penting daripada usaha keras sastra fiksinya.
Dia tidak benar-benar menikmati ketenaran yang datang dari kesuksesan sastranya, dan pada tahun 1968 dia pindah ke Poole untuk mendapatkan sedikit lebih banyak privasi. Istri tercintanya, Edith, meninggal pada tahun 1971, dan J.R.R. Tolkien meninggal dua tahun kemudian pada tahun 1973. Setelah kematiannya, karya-karyanya mulai mendapatkan popularitas dan penjualan yang semakin meningkat. Bahkan, sebelum peluncuran film-film The Lord of the Rings, buku Lord of the Rings sering kali dipilih sebagai buku yang paling dicintai sepanjang masa. Putranya, Christopher Tolkien, dengan hati-hati memeriksa seluruh naskahnya, dan menerbitkan secara anumerta beberapa sejarah dari middle earth (bumi tengah), yang mencakup berbagai draf-draf awal cerita tersebut dan sejarah-sejarahnya. (t/Odysius)
Diterjemahkan dari:
Nama situs | : | Biography Online |
URL | : | http://www.biographyonline.net/writers/tolkien_jrr.html |
Judul asli artikel | : | Brief Biography of J.R.R Tolkieny |
Penulis artikel | : | Tim Biography Online |
- Login to post comments
- 7548 reads